Saudara yang paling dekat dari naluri kepahlawanan adalah keberanian. Pahlawan sejati selalu merupakan seorang pemberani sejati. Tidak akan pernah seseorang disebut pahlawan, jika ia tidak pernah membuktikan keberaniannya. Pekerjaan-pekerjaan besar atau tantangan-tantangan besar dalam sejarah selalu membutuhkan kadar keberanian yang sama besarnya dengan pekerjaan dan tantangan itu. Sebab, pekerjaan dan tantangan besar itu menyimpan resiko. Dan, tak ada keberanian tanpa resiko.
Naluri kepahlawanan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.
Coba perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Coba perhatikan betapa Al-Qur’an memuji ketegaran dalam berperang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada resiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu syurga itu berada di bawah naungan pedang”. Adakah makna lain selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke syurga ?. Maka, dengarlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.”
Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas’ud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali dan
Kholid.
Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka beruntunglah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis Karena ia bisa diganti orang lain jika ida tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.”
Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah,” Itu semua sekelompok ketrampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka dengarlah nasehat Umar, “Ajarkan sastra
kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”
Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian.” Roh keberanian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini ?
Naluri kepahlawanan adalah akar dari pohon kepahlawanan. Akan tetapi, keberanian adalah batang yang menegakkannya. Keberanian adalah kekuatan yang tersimpan dalam kehendak jiwa, yang mendorong seseorang untuk maju menunaikan tugas, baik tindakan maupun perkataan, demi kebenaran dan kebaikan, atau untuk mencegah suatu keburukan dan dengan menyadari sepenuhnya semua kemungkinan resiko yang akan diterimanya.
Coba perhatikan ayat-ayat jihad dalam Al-Qur’an. Perintah ini hanya dapat terlaksana di tangan para pemberani. Coba perhatikan betapa Al-Qur’an memuji ketegaran dalam berperang, dan sebaliknya membenci para pengecut dan orang-orang yang takut pada resiko kematian. Apakah yang dapat kita pahami dari hadits riwayat muslim ini, “Sesungguhnya pintu-pintu syurga itu berada di bawah naungan pedang”. Adakah makna lain selain dari kuatnya keberanian akan mendekatkan kita ke syurga ?. Maka, dengarlah pesan Abu Bakar kepada tentara-tentara Islam yang akan berperang, “Carilah kematian, niscaya kalian akan mendapatkan kehidupan.”
Sebagian dari keberanian itu adalah fitrah yang tertanam dalam diri seseorang. Sebagian yang lain biasanya diperoleh melalui latihan. Keberanian, baik yang bersumber dari fitrah maupun melalui latihan, selalu mendapatkan pijakan yang kokoh pada kekuatan kebenaran dan kebajikan, keyakinan dan cinta yang kuat terhadap prinsip dan jalan hidup, kepercayaan pada hari akhirat, dan kerinduan yang menderu-deru untuk bertemu Allah. Semua itu adalah mata air yang mengalirkan keberanian dalam jiwa seorang mukmin. Bahkan, meskipun kondisi fisiknya tak terlalu mendukungnya, seperti jenis keberanian Ibnu Mas’ud dan Abu Bakar. Sebaliknya, ia bisa menjadi lebih berani dengan dukungan fisik, seperti keberanian Umar, Ali dan
Kholid.
Akan tetapi, Islam hendak memadukan antara keberanian fitrah dan keberanian iman. Maka beruntunglah ajaran-ajarannya menyuruh umatnya melatih anak-anak untuk berenang, berkuda dan memanah. Dengarlah sabda Rasulullah saw, “Ajarilah anakmu berenang sebelum menulis Karena ia bisa diganti orang lain jika ida tak pandai menulis, tapi ia tidak dapat diganti orang lain jika ia tak mampu berenang.”
Dengar lagi sabdanya, “Kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah, kekuatan itu pada memanah,” Itu semua sekelompok ketrampilan fisik yang mendukung munculnya keberanian fitrah. Tinggal lagi keberanian iman. Maka dengarlah nasehat Umar, “Ajarkan sastra
kepada anak-anakmu, karena itu dapat mengubah anak yang pengecut menjadi pemberani.”
Dan kepada orang-orang Romawi yang berlindung di balik benteng di Kinasrin, Khalid berkata, “Andaikata kalian bersembunyi di langit, niscaya kuda-kuda kami akan memanjat langit untuk membunuh kalian. Andaikata kalian berada di perut bumi, niscaya kami akan menyelami bumi untuk membunuh kalian.” Roh keberanian itu pun memadai untuk mematikan semangat perlawanan orang-orang Romawi. Mereka takluk. Mungkinkah kita mendengar ungkapan itu lagi hari ini ?
No comments:
Post a Comment